Pancasila Sebagai Paradigma Kehidupan Dalam Bermasyarakat, Berbangsa Dan Bernegara
Makna Reformasi
secara etimologis berasal dari kata reformation dari akar kata reform,
sedangkan secara harafiah reformasi mempunyai pengertian suatu gerakan yang
memformat ulang, menata ulang, menata kembali hal-hal yang menyimpang, untuk
dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal
yang di cita-citakan rakyat. Reformasi juga di artikan pembaharuan dari
paradigma, pola lama ke paradigma, pola baru untuk memenuju ke kondisi yang
lebih baik sesuai dengan harapan.[1]
Apabila gerakan reformasi ingin
menata kembali tatanan kehidupan yang lebih baik, tiada jalan lain adalah
mendasarkan kembali pada nilai-nilai dasar kehidupan yang dimiliki bangsa
Indonesia. Nilai-nilai dasar kehidupan yang baik itu sudah terkristalisasi
dalam pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Oleh karena itu, pancasila
sangat tepat sebagai paradigma, acuan, kerangka, dan tolok ukur gerakan
reformasi di Indonesia.
Reformasi dengan paradigma
pancasila adalah sebagai berikut :
a.
Reformasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa. Artinya, gerakan reformasi berdasarkan pada moralitas ketuhanan dan harus
mengarah pada kehidupan yang baik sebgai manusia makhluk tuhan.
b.
Reformasi yang berperikemanusiaan yang
adil dan beradab. Artinya, gerakan reformasi berlandaskan pada moral
kemanusiaan yang luhur dan sebagai upaya penataan kehidupan yang penuh
penghargaan atas harkat dan martabat manusia.
c.
Reformasi yang berdasarkan nilai
persatuan. Artinya, gerakan reformasi harus menjamin tetap tegaknya negara dan
bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan. Gerakan reformasi yang menghindarkan
diri dari praktik dan perilaku yang dapat menciptakan perpecahan dan
disintegrasi bangsa.
d.
Reformasi yang berakar pada asas
kerakyatan. Artinya, seluruh penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara
harus dapat menempatkan rakyat sebagai subjek dan pemegang kedaulatan. Gerakan reformasi
bertujuan menuju terciptanya pemerintahan yang demokratis, yaitu rakyat sebagai
pemegang kedaulatan.
e.
Reformasi yang bertujuan pada keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, gerakan reformasi harus memiliki
visi yang jelas, yaitu demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Perlu disadari bahwa ketidakadilanlah penyebab kehancuran suatu bangsa.
1. Gerakan Reformasi
Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama
dengan tatanan perikehidupan yang baru dan secara hukum menuju kearah
perbaikan. Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998
merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan terutama
perbaikan dalam bidang politik, social, ekonomi, dan hukum. [2]
Beberapa sebab lahirnya gerakan reformasi adalah krisis moneter,
ekonomi, politik, hukum,
sosial, budaya, dan kepercayaan terhadap pemerintahan Presiden Suharto. Nilai
tukar rupiah terus merosot. Para investor banyak yang menarik investasinya.
Inflasi mencapai titik tertinggi dan pertumbuhan ekonomi
mencapai titik terendah selama pemerintahan Orde Baru.
Terutama
praktek-praktek pemerintahan di bawah orde baru hanya membawa kebahagiaan semu,
ekonomi rakyat menjadi semakin terpuruk sistem ekonomi manjadi kapitalistik di
mana kekuasaan ekonomi di Indonesia hanya berada pada sebagian kecil penguasa
dan kongklomerat. Terlebih lagi merajalelanya praktek Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme pada hampir seluruh instansi serta lembaga pemerintahan, serta
penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang di kalangan para pejabat dan pelaksana
pemerintahan Negara membawa rakyat semakin menderita.
Puncak
dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah
berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat
sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya “Reformasi” disegala bidang
terutama bidang politik, ekonomi, dan hukum.
Pada
bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi
dan aksi keprihatinan yang menuntut penurunan harga barang-barang kebutuhan
(sembako), penghapusan KKN, dan mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan.
Pada
tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Istana Negara, Presiden Suharto meletakkan jabatannya
sebagai Presiden RI di hadapan Ketua dan beberapa anggota Mahkamah Agung.
Berdasarkan pasal 8 UUD 1945, kemudian Suharto menyerahkan jabatannya kepada
Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga B.J. Habibie
dilantik menjadi Presiden RI oleh Ketua MA.
2.
Pancasila
sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Dalam proses réformasi sudah seharusnya dilakukan adanya
perubahan terhadap perundang-undangan. Hal ini berdasar pada adanya kenyataan
setelah peristiwa 21 mei 1998 saat runtuhnya kekuasaan orde baru, salah satu
subsistem yang dampaknya sangat parah adalah dibidang hukum. Subsistem hukum
tidak mampu menjadi pelindung bagi kepentingan masyarakat dan cenderung
bersifat imperatif bagi penyelenggara pemerintah. Jadi untuk melakukan adanya
reformasi harus memiliki dasar, landasan serta sumber nilai yang terkandung
dalam pancasila yang merupakan dasar cita-cita reformasi.
a.
Pancasila sebagai sumber nilai perubahan
hukum
Dalam Negara terdapat suatu dasar
fundamental atau pokok kaidah yang merupakan sumber hukum positif yang dalam
ilmu hukum tata Negara disebut “staatsfundamentalnorm”.[3] Dalam
negara indonesia “staatsfundamentalnorm” nya adalah Pancasila, yang artinya
Pancasila merupakan pokok kaidah sumber hukum positif. Dalam pengertian inilah
maka Pancasila berfungsi sebagai paradigma hukum terutama yang berkaitan dengan
berbagai macam upaya perubahan hukum. Maka dari itu supaya hukum berfungsi
sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat, harus senantiasa diperbaharui agar
tetap sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan pembaharuan tersebut harus tetap
meletakkan Pancasila sebagai kerangka pikir, sumber norma, dan sumber nilai-nilainya.
Sebagai paradigma dalam pembaharuan
tatana hukum pancasila dipandang sebagai cita-cita hukum, dan sebagai cita-cita
hukum Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif.
Sebagai fungsi konstitutif Pancasila menentukan dasar suatu tatanan hukum yang
memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri, sehingga hukum sangat bergantung
pada dasar-dasar yang diberikan oleh nilai-nilai Pancasila. Begitu pula dengan
fungsi regulatif, Pancasila menetukan apakah suatu hukum positif itu sebagai
produk yang adil atau tidak. Sebagai staatsfundamentalnorm pancasila merupakan
pangkal sumber penjabaran dari tertib hukum di indonesia termasuk juga UUD
1945. Dalam pengertian inilah istlah ilmu hukum disebut sumber dari segala
peraturan perundang-undangan di indonesia (mahfud, 1999;59). Sumber hukum
meliputi dua macam pengertian :
1.
Sumber Hukum Formal, yaitu sumber hukum
ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum yang bersifat mengikat
terhadap komunitasnya, misalnya Undang-undang, perda dll.
2.
Sumber materila hukum, yaitu sumber
hukum yang menentukan materi atau isi suatu norma hukum (Darmodihardjo, 1996:206)
b.
Dasar Yuridis Reformasi Hukum
Dalam upaya reformasi telah banyak
dilontarkan berbagai macam pendapat tentang aspek-aspek yang dapat dilakukan
dalam perubahan hukum di Indonesia, bahkan semakin banyak bermunculan usulan
tentang amandemen atau perubahan secara menyeluruh terhadap Pasal-pasal UUD
1945, namun harus dipahami secara obyektif, apabila terjadi suatu amandemen
terhadap seluruh pasal UUD 1945, maka tidak terjadi pula perubahan terhadap
Pembukaan UUD 1945, karena pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah negara
yang fundamental, sebagai sumber positif, memuat Pancasila sebagai dasar
filsafat negara yang melekat pada kelangsungan hidup negara proklamasi 17
agustus 1945. Oleh karena itu apabila ada perubahan pembukaan UUD 1945 sama
halnya dengan menghilangkan eksistensi bangsa dan negara Indonesia, atau sama
halnya dengan pembubaran negara Indonesia.
Dasar yuridis Pancasila sebagai
paradigma reformasi hukum adalah Tap No.XX/MPRS/1996, yang menyatakan
Panacasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, yang berarti
sebagai sumber produk serta proses penegakan hukum harus selalu bersumber pada
niali-nilai yang terkandung dalam pancasila, dan secar eksplisit dirinci tata
urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang bersumber pada
nilai-nilai Pancasila.
Ada beberapa macam produk peraturan
perundang-undangan yang telah dihasilkan dalam reformasi hukum, antara lain
undang-undang politik tahun 1999, yaitu UU No.2 tahun 1999, tentang partai
politik, UU No.3 tahun 1999, tentang Pemilu, dan UU No.4 tahun 1999 tentang
susunan dan kedudukan MPR, DPR, Dan DPRD, kemudian UU pokok Pers yang
diharapkan menghasilkan pers yang bebas dan demokratis, lalu UU otonomi daerah
yang meliputi UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU No. 25 tahun
1999, tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan UU No.28
tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.
Demikian juga terjadi pada tingkatan
ketetapan MPR yang telah dilakukan reformasi hukum melalui sidang istimewa MPR
pada bulan November 1998 yang menghasilkan berbagai macam ketetapan antara lain
Tap No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan referendum, karena dianggap menghambat
demokrasi, Tap No. IX/MPR/1998 tentang GBHN yang tidak mungkin dilaksanakan
karena krisis ekonomi serta politik, Tap No. X/MPR/1998 tentang poko-pokok
reformasi pembangunan, Tap No. XI/MPR/1998 tentang negara yang bebas KKN, Tap
No. XIII/MPR/1998 tentang masa jabatan presiden , Tap No. XIV/MPR/1998 tentang
Pemilu Tahun 1999, Tap No. XV/MPR/1998 tentang otonomi daerah dan perimbangan
keuangan pusat dan daerah, Tap No. XVI/MPR/1998 tentang Demokrasi Ekonomi, Tap
No. XVII/MPR/1998 tentang Hak asasi manusia, serta Tap No. XVIII/MPR/1998
tentang pencabutan P4, serta berbagai macam peraturan perundang-undangan
lainya.
c.
Pancasila sebagai Paragidma Reformasi
Pelaksanaan Hukum
Dalam Era reformasi pelaksanaan hukum
harus didasarkan pada suatu nilai sebagai landasan operasionalnya guna mencapai
tujuan daripada reformasi itu sendiri yaitu melindungi bangsa dan seluruh
tumpah darah. Pelaksanaan hukum pada masa reformasi ini harus benar-benar dapat
mewujudkan negara demokratis dengan suatu supremasi hukum, yang artinya
pelaksanaan hukum harus mampu mwujudkan jamina atas terwujudnya keadilan (sila
V) dalam suatu negara yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban setipa warga
negara, tanpa memandang pangkat, jabatan ataupun golongan maupun agama.
Konsekuensi dari pelaksanaan hukum aparat penegak hukum terutama pihak
kejaksaan adalah sebagai ujung tombaknya sehingga harus benar-benar bersih dari
praktek KKN.
3.
Pancasila
sebagai Paradigma Reformasi Politik
Landasan aksiologi (sumber nilai)
bagi sistem politik Indonesia adalah sebagaimana terkandung dalam Deklarasi
Bangsa Indonesia yaitu pembukaan UUD 1945 alinea IV. Nilai demokrasi politik
yang terkandung dalam Pancasila merupakan fondasi bangunan negara yang
dikehendaki oleh para pendiri negara kita dalam kenyataanya tidak dilaksanakan
berdasarkan suasana kerokhanian berdasarkan nilai-nilai tersebut, dan pada realisasinya
baik pada masa orde lama maupun orde baru negara lebih mengarah pada praktek
otoritarianisme yang mengarah pada porsi kekuasaan yang terbesar kepada
presiden. Nilai demokrasi politik tersebut secara normatif terjabar dalam
pasal-pasal UUD 1945.
Adapun esensi dari pasal-pasal
tersebut berdasarkan UUD 1945 adalah :
a. Rakyat merupakan pemegang kedaulatan
tertinggi dalam Negara
b. Kedaulatan rakyat dijalankan
sepenuhnya oleh MPR
c.
Presiden
dan wakil presiden dipilih oleh MPR, dan bertanggung jawab kepada MPR
d.
Produk
hukum apapun yang dihasilkan oleh presiden baik sendiri maupun bersama dengan
lembaga lain, kekuatanya berada dibawah MPR atau produk-produknya.
Perlu diketahui pula bahwa rakyat
adalah asal mula kekuatan negara, oleh sebab itu paradigma ini merupakan dasar
pijak dalam reformasi politik. Dan reformasi politik atas sistem politik harus
melalui Undang-undang yang mengatur sistem politik tersebut, dengan tetap
mendasarkan pada paradigma nilai-nilai kerakyatan sebagaimana terkandung dalam
Pancasila.
a.
Reformasi
atas system politik
System mekanisme demokrasi tersebut
tertuang dalam undang-undang politik yang berlaku selama orde baru yaitu:
-
UU
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD ( UU No. 16/1969 jis UU No.
5/1975 dan UU No. 2/1985 )
-
UU
tentang Partai Politik dan Golongan Karya ( UU No.3/1975, jo. UU No.3/1985 )
-
UU
tentang Pemilihan Umum (UU No.15/1969 jis UU No.4/1975. UU No.2/1980, dan UU
No.1/1985)
b.
Reformasi
atas Kehidupan Politik
Untuk mencapai kehidupan politik
yang benar-benar demokratis maka harus dilakukan dengan cara Revitalisasi
politik yaitu dengan mengembalikan Pancasila pada kedudukan serta fungsi yang
sebenarnya seperti yang tertuang pada UUD 1945.
4.
Pancasila
sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi
Langkah yang startegis dalam upaya melakukan
reformasi ekonomi yang berbasis pada ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai-nilai
pancasila yang mengutamakan kesejahteraan seluruh bangsa adalah sebagai berikut
:
a. Keamanan
pangan dan mengembalikan kepercayaan, yaitu dilakukan dengan program “social
safety net” yang popular dengan program jaringan pengaman social (JPS).
b. Program
rehabilitasi dan pemulihan ekonomi untuk menciptakan kondisi kepastian usaha.
c. Transformasi
struktur untuk memperkuat ekonomi rakyat.[4]
B.
Aktualisasi
Pancasila
Aktualisasi
pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu aktualisasi objektif dan
subjektif.[5]
Aktualisasi pancasila objektif adalah aktualisasi pancasila dalam berbagai
bidang kehidupan kenegaraan yang meliputi kelembagaan Negara seperti
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Selain itu juga meliputi bidang
aktualisasi lain seperti politik, ekonomi, hukum, GBHN, hankam dan pendidikan.
Aktualisasi pancasila subjektif adalah aktualisasi pancasila pada setiap
individu terutama dalam aspek moral dalam kaitannya dengan hidup Negara dan
masyarakat.
C.
Tridarma
Perguruan Tinggi
Menurut PP.
No.60 Th 1999, bahwa perguruan tinggi memiliki 3 tugas pokok yang disebut
Tridharma Perguruan Tinggi, yang meliputi (1) pendidikan tinggi, (2)
penelitian, dan (3) pengabdian kepada masyarakat.
1. Pendidikan
Tinggi
Lembaga
pendidikan tinggi memiliki tugas melaksanakan pendidikan untuk menyiapkan,
membentuk dan menghasilkan sumber daya yang berkualitas.[6] Tugas
pendidikan tinggi yaitu :
a) menyiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan
professional yang dapat menerapkan, mengembangkan atau memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan, teknologi dan kesenian.
b) Mengembangkan
dan menyebar luaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian serta
mengupayakan penggunaanya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan
memperkaya kebudayaan nasional.
Pengembangan
ilmu di perguruan tinggi bukanlah value free (bebas nilai) melainkan senantiasa
terikat nilai. Oleh karena itu pendidikan tinggi haruslah menghasilkan ilmuwan,
intelektual serta pakar yang bermoral ketuhanan yang mengabdi pada kemanusiaan.
2. Penelitian
Penelitian
adalah suatu kegiatan
telaah yang taat kaidah, bersifat obyektif dalam upaya
untuk menemukan kebenaran dan menyelesaikan
masalah dalam ilmu
pengetahuan,
teknologi dan kesenian.[7]
Dalam suatu kegiatan penelitian seluruh unsure dalam penelitian
senantiasa mendasarkan pada
suatu paradigma tertentu, baik permasalahan, hipotesis, landasan teori maupun metode yang
dikembangkannya.
Dasar-dasar nilai dalam Pancasila menjiwai moral peneliti
sehingga suatu penelitian
harus
bersifat obyektif dan ilmiah. Seorang peneliti harus berpegangan pada moral
kejujuran yang bersumber pada ketuhanan dan kemanusiaan. Suatu hasil penelitian
tidak boleh karena motivasi uang, kekuasaan, ambisi atau bahkan kepentingan
primordial tertentu. Selain itu asas manfaat penelitian harus demi
kesejahteraan umat manusia, sehingga dengan demikian suatu kegiatan penelitian
senantiasa harus diperhitungkan manfaatnya
bagi masyarakat luas serta peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan.
3. Pengabdian
Kepada Masyarakat
Berdasarkan
pasal 3 ayat (1) PP. 60 Th. 1999, pengabdian kepada masyarakat adalah suatu
kegiatan yang memanfaatkan ilmu Pengetahuan dalam upaya memberikan sumbangan
demi kemajuan masyarakat.
Realisasi
pengabdian kepada masyarakat dengan sendirinya disesuaikan dengan cirri khas,
sifat serta karakteristik bidang ilmuyang dikembangkan oleh perguruan tinggi
yang bersangkutan. Aktualisasi pengabdian kepada masyarakt ini pada hakikatnya
merupakan suatu aktualisasi pengembangan ilmu pengetahuan demi kesejahteraan umat
manusia. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat sebenarnya merupakan suatu
aktualisasi kegiatan masyarakat ilmiah perguruan tinggiyang di jiwai oleh
nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam Pancasila.
D.
Budaya
Akademik
Terdapat
sejumlah cirri masyarakat ilmiah sebagai budaya akademik sebagai berikut :
1. Kritis,
senantiasa mengembangkan sikap ingin tahu segala sesuatu untuk selanjutnya
diupayakan jawaban dan pemecahannya melalui suatu kegiatan ilmiah penelitian.
2. Kreatif,
senantiasa mengembangkan sikap inovatif, berupaya untuk menemukan sesuatu yang
baru dan bermanfaat bagi masyarakat.
3. Obyektif,
kegiatan ilmiah yang dilakukan harus benar-benar berdasarkan pada suatu kebenaran
ilmiah, bukan karena kekuasaan, uang atau ambisi pribadi.
4. Analitis,
suatu kegiatan ilmiah harus dilakukan dengan suatu metode ilmiah yang merupakan
suatu prasyarat untuk tercapainya suatu kebenaran ilmiah.
5. Konstruktif,
harus benar-benar mampu mewujudkan suatu karya baru yang memberikan asas
kemanfaatan bagi masyarakat.
6. Dinamis,
ciri ilmiah sebagai budaya akademik harus dikembangkan terus-menerus.
7. Dialogis,
dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dalam masyarakat akademik harus
memberikan ruang pada peserta didik untuk mengembangkan diri, melakukan kritik
serta mendiskusikannya.
8. Menerimakritik,
sebagai suatu konsekuensi suasana dialogis yaitu setiap insane akademik senantiasa
bersifat terbuka terhadap kritik.
9. Menghargai
prestasi ilmiah atau akademik, masyarakat intelektual akademik harus menghargai
prestasi akademik, yaitu prestasi dari suatu kegiatan ilmiah.
10. Bebas
dari prasangka, budaya akademik harus mengembangkan moralitas ilmiah yaitu harus
mendasarkan kebenaran pada suatu kebenaran ilmiah.
11. Menghargai
waktu, senantiasa memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien mungkin, terutama demi
kegiatan ilmiah dan prestasi.
12. Memiliki
dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah, memiliki karakter ilmiah sebagai inti pokok
budaya akademik.
13. Berorientasi
kemasa depan, mampu mengantisipasi suatu kegiatan ilmiah kemasa depan dengan suatu
perhitungan yang cermat, realistis dan rasional.
14. Kesejawatan
atau kemitraan, harus memiliki rasa persaudaraan yang kuat untuk mewujudkan
suatu kerja sama yang baik.
E.
Kampus
sebagai Moral Force Pengembangan Hukum dan HAM
Dalam penegakan
hak asasi manusia tersebut mahasiswa sebagai kekuatan moral harus bersifat
obyektif dan benar-benar berdasarkan kebenaran moral demi harkat dan martabat
manusia, bukan karena kepentingan politik terutama kepentingan kekuatan politik
dan konspirasi kekuatan internasional yang ingin menghancurkan negara.[8] Oleh
karena itu dasar pijak kebenaran masyarakat kampus adalah kebenaran yang
bersumber pada ketuhanan dan kemanusiaan.
Indonesia dalam
melaksanakan reformasi dewasa ini, suatu agenda yang mendesak untuk diwujudkan
adalah reformasi dalam bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.
Dalam reformasi
bidang hukum, bangsa Indonesia telah mewujudkan Undang-undang Hak Asasi Manusia
yaitu UU No. 39 Th.1999. Sebagaimana terkandung dalam konsideran bahwa yang
dimaksud Hak asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.
BAB
III
PENUTUP
A.
KesimpulaGerakan Reformasi terjadi disebabkan oleh lemahnya pandangan manusia terhadap
nilai-nilai Pancasila. Keinginan mereka untuk meraih kejayaan dengan KKN justru
membalikan fakta sesungguhnya. Peristiwa yang terjadi pada masa lampau tepatnya
tahun 1997 seharusnya dijadikan pelajaran oleh bangsa kita.
Secara
umum Pancasila merupakan dasar cita-cita reformasi di bidang hukum, politik,
ekonomi dan bidang pendidikan tidak mungkin dilakukan dengan pemikiran secara
teori namun haruslah mendasar dan memiliki landasan yang mana bersumber pada
nilai-nilai Pancasila.
Berdasarkan
hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan individu, masyarakat dalam
pergaulannya berbangsa dan bernegara harus melaksanakan hak dan kewajibansesuai
tugas dan fungsinya. Maka diperlukan aturan yang menjadi acuan dalam bertingkah
laku yaitu Pancasila.
Perguruan
Tinggi menyediakan layanan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Masyarakat
akademik harus mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan esensi pokok dari
aktivitas Perguruan Tinggi.
Dalam
dunia kampus masyarakat ilmiah harus benar-benar mengamalkan budaya akademik. Agar
tidak terjebak pada kepentingan penguasa, masyarakat kampus harus bersifat
objektif dan harus mempertahankan apa yang harus dikehendakinya. Mereka pun
harus bersumber pada hati nurani serta sikap moral yang luhur yang bersumber
pada ketuhanan dan kemanusiaan.
B.
Saran
·
Kepada pembaca diharapkan makalah ini
dapat menabah wawasan mengenai peranan Pancasila sebagai Paradigma.
·
Kepada rakyat Indonesia diharapkan bisa
menerapkan nilai-nilai pancasila dalam melakukan gerakan Reformasi di bidang
hukum, politik, dan Ekonomi serta Pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
kaelan, MS. Pendidikan Pancasila, Yogyakarta : Paradigma, 2004
Badrika, I Wayan. Sejarah, Jakarta : Erlangga, 2006
[1] http://indridjanarko.dosen.narotama.ac.id/files/2011/05/Modul-Pancasila-7-Pancasila-Sebagai-Paradigma-Reformasi.pdf
[2]
Drs. I Wayan Badrika, M.Si, sejarah (Jakarta,
Erlangga 2006) hal : 36
[3]
Kaelan, op.cit., hal : 244
[4]
Kaelan, op.cit., hal : 258
[5]
Kaelan, op.cit., hal: 259
[6]
Prihantoro, aktualisasi pancasila di peruruan tinggi, dalam http://ocw.gunadarma.ac.id/course/computer-science-and-information/information-system-s1-1/pendidikan-pancasila/aktualisasi-pancasila-di-perguruan-tinggi
[7]
ibid
[8]
Kaelan, op.cit., hal : 264
0 comments:
Post a Comment